Oleh: Elfahmi Lubis

Polemik soal apakah anggota DPR/DPD/DPRD yang terpilih dalam Pemilu 2024 lalu, wajib mengundurkan diri atau tidak dari jabatannya telah menimbulkan problematika hukum. Soalnya, desain jadwal Pemilu dengan Pilkada 2024 yang waktunya hampir bersamaan atau beririsan telah menyebabkan terjadinya “kekosongan” hukum, terutama berkaitan dengan pemenuhan syarat formil pencalonan kepala daerah sebagaimana diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Persoalan muncul ketika tahapan Pilkada 2024 sudah dimulai, sementara anggota DPR/DPD/DPRD terpilih pada Pemilu 2024 belum dilantik. Jika merujuk jadwal Pemilu, pelantikan anggota DPR dan DPD adalah pada tanggal 1 Oktober 2024. Sementara jadwal tahapan Pilkada Serentak 2024, sesuai PKPU Nomor 2 Tahun 2024 sudah dimulai sejak 26 Januari 2024. Untuk tahapan pendaftaran calon kepala daerah sendiri dimulai 5 Mei 2024 – 19 Agustus 2024, yaitu tahapan pemenuhan persyaratan dukungan pasangan calon perseorangan. Selanjutnya, tahapan pengumuman pendaftaran Pasangan calon, pendaftaran pasangan calon, penelitian persyaratan calon, dan tanggal 22 September 2024 sudah dilakukan penetapan pasangan calon.

Disini titik awal munculnya problematika hukum, apakah anggota DPR/DPD/DPRD terpilih pada Pemilu 2024 harus mundur atau tidak jika mereka ikut mendaftar sebagai calon kepala daerah. Sesuai tahapan Pilkada, status caleg terpilih Pemilu 2024 baru sebagai sebatas “caleh terpilih” karena belum dilantik. Dalam konteks ini secara hukum memang tidak ada kewajiban mundur dari jabatan, karena secara yuridis dikatakan sudah menjabat sebagai anggota legislatif adalah terhitung ketika dilantik dan pengambilan sumpah. Namun problem berikutnya, ketika jadwal Pilkada masuk tahapan penetapan pasangan calon (diperkirakan anggota DPRD Prov/Kota/Kabupaten sudah dilantik). Sedangkan ketika masuk pada tahapan kampanye, pemungutan suara, dan tahapan seterusnya (anggota DPR/DPD sudah dilantik). Pertanyaannya bagaimana dengan status hukum mereka ketika dalam tahapan ini, apakah mereka tetap tidak wajib mengajukan pengunduran diri atau harus mengundurkan diri karena sudah menyandang status anggota legislatif yang telah dilantik ?

KPU melalui Ketua, Hasyim Asy’ari, menilai bahwa anggota DPR/DPD/DPRD terpilih dalam Pemilu 2024 tidak wajib mengundurkan diri karena belum dilantik dan memiliki jabatan. Ketua KPU merujuk argumentasi hukum berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 12/PUU-XXII/2024, dimana dalam pertimbangannya menyatakan bahwa pihak yang wajib mundur saat mencalonkan diri dalam Pilkada ialah pihak yang telah dilantik dan memiliki jabatan. Oleh sebab itu mereka (baca anggota legislatif terpilih pada Pemilu 2024) belum dilantik, maka tidak wajib mundur. Masih merujuk pada putusan MK tersebut di atas, memerintahkan KPU mempersyaratkan bagi calon anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD terpilih yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah untuk membuat surat pernyataan bersedia mengundurkan diri jika telah dilantik secara resmi menjadi anggota DPR, anggota DPD dan anggota DPRD apabila tetap mencalonkan diri sebagai kepala daerah,” bunyi putusan MK pada angka [3.13.1].

Secara tekstual bunyi frasa putusan MK ini jelas ‘jika telah dilantik secara resmi menjadi anggota DPR/DPD/DPRD. Dengan demikian wajib mundur itu adalah anggota legislatif yang terpilih pada Pemilu 2019 lalu jika mencalonkan diri di Pilkada. Ketentuan ini secara hukum memberikan ruang kepada anggota legislatif terpilih pada Pemilu 2024 yang maju di Pilkada, pelantikannya menyusul belakangan setelah 1 Oktober 2024.

Argumentasi hukum lain bahwa anggota DPR/DPD/DPRD yang terpilih di Pemilu 2024 tetap harus mengundurkan diri jika mencalonkan diri di Pilkada, didasari alasan bahwa mereka ketika masih dalam tahapan Pilkada sudah dilantik sehingga sudah memiliki jabatan. Walaupun ketika proses pendaftaran dan penetapan calon kepala daerah, status
mereka belum dilantik sebagai anggota legislatif. Maka dalam konteks ini muncul perdebatan hukum tentang keabsahan syarat formil calon. Jika KPU tetap mengakomodir pencalonannya di Pilkada tanpa ada kewajiban mundur, hal ini berpotensi terjadinya sengketa administratif dan proses di Bawaslu dari para calon kepala daerah lain yang keberatan. Akhirnya, bola panas persoalan ini ada ditangan Bawaslu, bagaimana memutuskan sengketa ini nanti dalam sidang adjudikasi. Maka, saya berpendapat problematika ini akan menjadi salah satu kerawanan dalam Pilkada serentak 2024.

Mengutip pernyataan pers Perludem, terkait problematika hukum masalah wajib atau tidak anggota legislatif terpilih di Pilkada 2024 mundur ketika mencalonkan diri sebagai kepala daerah menyatakan beberapa argumentasi, yaitu pertama, langkah KPU yang tidak mengatur pengunduran diri caleg terpilih menunjukan sikap penyelenggaraan Pilkada 2024 yang tidak adil sesuai dengan azas penyelenggaraan Pilkada dan bertentangan dengan konstitusi. Pasalnya perbedaan waktu antara tahapan Pilkada dan pelantikan caleg Terpilih di Pemilu 2024 tentu berbeda dan dibutuhkan pengaturan yang lebih komprehensif. Khususnya pada tahapan Pilkada yang mana, ketentuan Caleg Terpilih harus mengundurkan diri.

Kedua, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XXII/2024 telah menegaskan terkait dengan status calon anggota DPR, anggota DPD dan anggota DPRD yang terpilih sesungguhnya memang belum melekat pada hak dan kewajiban konstitusional yang berpotensi dapat disalahgunakan oleh calon anggota DPR, anggota DPD dan anggota DPRD yang bersangkutan.

Namun dalam Putusan yang sama, MK memerintahkan kepada KPU untuk mempersyaratkan bagi calon anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD terpilih yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah untuk membuat surat pernyataan bersedia mengundurkan diri jika telah dilantik secara resmi menjadi anggota DPR, anggota DPD dan anggota DPRD apabila tetap mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Aturan ini penting untuk menghindari penyelenggaraan Pilkada yang diikuti oleh Anggota Legislatif terpilih yang dilekatkan hak-hak konstitusional pada dirinya yang berpotensi melekat adanya penyalahgunaan kewenangan, serta gangguan kinerja jabatan.

Ketiga, Aturan waktu caleg terpilih dengan mengikuti siklus tahapan Pilkada harus diatur. Jika yang bersangkutan merupakan Caleg terpilih, maka saat melakukan pendaftaran calon kepala daerah, harus melampirkan surat pernyataan bersedia mengundurkan diri jika telah dilantik secara resmi menjadi anggota DPR, anggota DPD dan anggota DPRD apabila tetap mencalonkan diri sebagai kepala daerah sesuai dengan tahapan pencalonan. Sehingga ketika tepat pada hari pelantikan Aleg tersebut (1 Oktober untuk DPR dan DPD serta waktu pelantikan DPRD), maka surat pengunduran diri yang didaftarkan saat pencalonan Pilkada langsung dapat diproses pemberhentiannya sebagai Aleg terpilih.

Atas dasar hal tersebut, Perludem mendorong KPU harus menjamin penyelenggaraan Pilkada yang Adil serta menghindari praktik penyelenggaraan Pilkada yang diikuti oleh Anggota Legislatif terpilih pada potensi terjadinya penyalahgunaan kewenangan.

Untuk menghindari persoalan di kemudian hari, saya berpendapat sebaiknya penyelenggara Pemilu mulai KPU, Bawaslu, dan DKPP harus melakukan konsultasi ke DPR RI sebagai pemegang hak legislasi melalui Komisi II, untuk membicarakan persoalan ini secara komprehensif. Setidaknya, melalui forum konsultasi tersebut, KPU bisa merumuskan PKPU sebagai dasar hukum pengaturan calon anggota legislatif terpilih di Pemilu 2024 ketika mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah di Pilkada. Artinya, rujukan hukumnya tidak hanya putusan MK yang masih multitafsir dan ambigu tersebut, tapi juga harus diperkuatkan dengan payung hukum lapis kedua yaitu PKPU. Dengan demikian polemik mundur atau tidaknya calon legislatif terpilih di Pemilu 2024 mencalonkan diri di Pilkada menjadi clear secara hukum. **

Penulis merupakan Dosen Program Studi PPKn Universitas Muhammadiyah Bengkulu, Pengamat Politik, Ketua LBH AP PWM Bengkulu

Kirim Pesan
Selamat ya sob, kamu sudah terhubung dengan admin Universitas Muhammadiyah Bengkulu, segera kirim pesanmu ya sob dan tim kami akan segera membalas.