Muhammad Faisal Rahman
Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Bengkulu Angkatan 15
Staff UPT Kemahasiswaan UM Bengkulu
Pulau kalimantan dengan kekayaan sumber daya alam dan keragaman budaya yang tinggi, menyimpan kisah panjang tentang persinggungan antar kelompok etnis. Salah satu konflik paling dikenal adalah konflik antara masyarakat Dayak asli dan pendatang dari Madura. Konflik ini mencapai puncaknya dalam kekerasan di Sampit pada tahun 2001. Peristiwa ini menimbulkan korban jiwa, memicu kerusakan ekonomi dan sosial, serta menorehkan trauma mendalam. Konflik antara dua atau lebih kelompok etnis merupakan masalah politik, ekonomi, sosial, budaya, dan teritorial yang mendesak. Di Indonesia sendiri ternyata telah banyak terjadi konflik antaretnis dan budaya (Konflik Antaretnis di Indonesia dan Upaya Penanggulangannya, 2022)
Dari sekian banyak konflik antar etnik di Kalimantan Barat, Konflik antara etnik Dayak dengan Madura lah yang paling mencekam dan menakutkan, karena memakan korban yang banyak dan meninggalkan kesan traumatik bagi semua pihak. Konflik itu diikuti dengan tindak kekerasan yang melampaui batas nilai kemanusiaan berupa pembakaran rumah dan harta milik, pengusiran dari tempat tinggal, bahkan pemenggalan kepala korban diikuti dengan memakan daging dan meminum darahnya hidup-hidup (Alqadrie dan Andasputra, 1999 : Petebang et al.,2000;Bahari, 2005). Berdasarkan fakta yang dikemukakan tersebut, sejarah konflik antaretnik khusus, antara Dayak dengan Madura, di Kalimantan Barat merupakan suatu sejarah yang panjang yang terus berulang-ulang dan cenderung makin membesar, baik dilihat dari sisi kuantitas maupun kualitasnya. Ini mengidentifikasi resolusi yang dilakukan tidak berhasil. Resolusi yang gagal dapat disebabkan oleh tidak diketahuinya secara tuntas akar penyebab konflik tersebut. Meminjam istilah Collins (2003, dalam Bahari, 2005) konflik sosial berkepanjangan itu disebabkan oleh tidak adanya informasi ilmiah yang cukup dan mendalam tentang konflik sosial itu sendiri. Konflik berulang itu dapat disebabkan oleh ketidakmampuan aparat pemerintah dalam menyelesaikannya.
Sejak kedatangan etnis Madura ke Kalimantan Barat, interaksi antara Madura dan Dayak pun mulai terjalin. Namun, dari interaksi itu pula rupanya memunculkan gesekan-gesekan yang berujung konflik. Etnis Madura sebagai pendatang dengan adat-istiadatnya yang berbeda dengan Suku Dayak, lama-kelamaan mulai membentuk dan mengubah cara pandang etnis Dayak terhadap citra orang Madura. Sebagai contoh, Suku Madura biasanya membawa senjata tajam kemana pun mereka pergi, Suku Dayak menganggap kebiasaan ini tidak lazim dalam kehidupan mereka. Efek kontak antar kelompok antara kelompok etnis dominan dan etnis yang kurang dominan menyebabkan anggota dari masing-masing kelompok lebih sadar akan status kelompok mereka, sehingga perasaan prasangka muncul dan menghambat efek kontak antar kelompok (Bruijn et al. 2022).
Adapun beberapa peran pemerintah untuk menanggapi konflik di Samalantan Kalimantan Barat yaitu yang pertama dengan mengadakaan musyawarah. Sebelum terjadinya konflik yang lebih luas pemerintah setidaknya telah mengambil tindakan dan kebijakan untuk mendamaikan kedua belah pihak yang bertikai antara pihak orang Dayak dan orang Madura di Samalantan, salah satu cara dengan mengadakan musyawarah. Yang kedua untuk menanggapi konflik tersebut dengan membuat perjanjian antara orang Dayak dengan orang Madura, sebenarnya banyak kesepakatan yang telah disepakati waktu di adakan nya perjanjian tapi karena terlalu banyak, maka hanya sedikit yang dipatuhi oleh kedua belah pihak. Yang Ketiga dengan cara membuat Tugu Perdamaian, Pada saat pembuatan tugu perdamaian tersebut semuanya lancar-lancar saja tidak ada masalah baik dari bahan material maupun tenaga kerja, tugu tersbeut dibuat tidak mewah tetapi hanya berupa tiang-tiang segi empat yang hampir sama. Dan Bhineka Tunggal Ika berada paling atas dengan tulisan yang sangat besar yaitu “berbeda-beda tapi tetap satu” itulah pengertian daripada Bhineka Tunggal Ika yang merupakan salah satu isi daripada tugu perdamaian yang ada di Samalantan dan ditengah tiang-tiang tersebut dibuat patung garuda yang berisi sila-sila yang pertama ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Dinamika Konflik Antar Etnis Dayak dan Etnis Madura di Samalantan Kalimantan Barat, 2020)
Tinggalkan Balasan