Oleh: An Najmi Fikri Ramadhan
Tak terasa puasa Ramadan tinggal menghitung hari lagi akan berakhir. Hampir semua orang sibuk pada urusannya masing-masing. Ada yang sibuk menyiapkan lontong dan opor ayam untuk move on persiapan menuju lebaran Idul Fitri. Begitupula sebagian ada yang masih sibuk beribadah, memanfaatkan sepuluh malam terakhir untuk mencari lailatul Qadr. Dalam kondisi-kondisi genting ini, ada dua tipe orang menyikapi Ramadan yang akan segera berakhir:
Pertama, senang dan gembira. Tipe orang ini merasa senang karena bulan Ramadan sebentar lagi akan berhasil dilewatinya. Ia gembira sebentar lagi tidak perlu untuk menahan lapar dan haus seperti biasanya sebagaimana ketika di bulan Ramadan.
Kedua, sedih dan khawatir. Tipe orang ini merasa sedih karena bulan Ramadan sebentar lagi pergi meninggalkannya. Ia khawatir amalan ibadahnya selama di bulan Ramadan masih kurang dan belum maksimal. Bahkan sampai cemas terhadap dirinya sendiri tidak akan bertemu lagi dengan bulan Ramadan di tahun depan.
Memang bersukacita akan berakhirnya bulan Ramadan tidak ada yang melarang, namun hal itu seharusnya bukan menjadi ajang balas dendam. Setelah sebulan penuh berpuasa terkadang dibayarkan dengan gegap gempita hari raya Idul Fitri hingga terlena tanpa terkontrol. Semestinya, sukacita akan berakhirnya Ramadan merupakan momen kemenangan, sebagai modal untuk diri kita yang telah melatih dan melawan hawa nafsu.
Setidaknya ada tiga hal yang bisa kita persiapkan setelah bulan Ramadan berakhir:
Melanjutkan Kebiasaan Baik Setelah Bulan Ramadan
Ramadan dikenal sebagai bulan Tarbiyah. Pendidikan yang kita terima selama bulan Ramadan melatih kita untuk menjalankan kebiasaan-kebiasaan baik. Mengutip Alyssa Roberts seorang peneliti dari Universitas Minnesota, aktivitas yang dilakukan secara berulang-ulang dengan cukup lama dan konsisten akan membentuk pola kebiasaan baru. Sehingga otak akan beradaptasi dengan rutinitas tersebut dan membuat respon secara otomatis.
Itulah kenapa dalam hadist, Rasulullah bersabda bahwa syarat agar puasa kita mendapatkan ganjaran diampuni dosa yang telah lalu adalah dengan ihtisaban. Makna ihtisaban ini umumnya dimaknai para ulama sebagai penuh pengharapan, tetapi secara makna lain dapat kita artikan sebagai menghitung-hitung atau mengukur.
Rutinitas ibadah puasa di bulan Ramadan bertujuan agar pandai menghitung dan mengukur waktu-waktu keseharian agar seimbang antara ibadah dan beraktivitas. Rutinitas kebiasaan inilah yang akan membentuk pola kehidupan produktif.
Walaupun kita dihadapkan pada aktivitas ke duniaan yang padat, ibadah tetap harus dijalankan. Sebaliknya, di bulan Ramadan dengan rutinitas ibadah yang padat karena berpuasa di siang harinya dan malamnya qiyamu ramadan, tidak menghalangi seseorang untuk beraktivitas secara produktif.
Melakukan Amal Secara Berkelanjutan
Jamak yang kadang sering dipahami oleh umat Islam hari ini adalah ketika bulan Ramadan usai, maka kebiasaan ibadah yang ia lakukan selama bulan Ramadan juga usai. Kebiasaanya berpuasa, tadarus al-Qur’an, qiyamul lail berjamaah di masjid dan gemar bersedekah tidak diteruskan setelah bulan Ramadan.
Bisa jadi, kesalahpahaman ini terjadi karena memaknai dalil-dalil yang menjelaskan keutamaan ibadah di bulan Ramadan tidak dipahami secara futuristik atau untuk tujuan masa mendatang. Tujuan maksud keutamaan beribadah di bulan Ramadan selain memang kesempatan yang diberikan Allah untuk mendulang pahala yang berlipat sebanyak-banyaknya, juga mempersiapkan diri terbiasa beribadah di sebelas bulan setelah Ramadan.
Allah swt justru menyukai orang yang beribadah sedikit tapi berkelanjutan (kontinu), dibandingkan orang yang full beribadah hanya sehari semalam saja namun tidak berlanjut. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh’Aisyah beliau mengatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda:
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
”Amalan yang paling dicintai oleh Allah Swt adalah amalan yang berkelanjutan (kontinu) walaupun itu sedikit” (HR. Muslim no. 783)
Hadist di atas menunjukkan prinsip beribadah bukanlah dinilai sebatas kuantitas semata, melainkan konsisten dan istiqomah menjalankan ibadah tersebut. Hal ini bertujuan ibadah yang dilakukan dapat berdampak dalam laku kehidupan di dunia.
Perubahan Perilaku Menjadi Lebih Baik
Hikmah yang hendak dicapai bagi orang yang berpuasa adalah membentuk manusia yang bertaqwa. Sebagaimana ungkapan di akhir ayat Q.S Al-Baqarah [2]: 183 yang menerangkan rangkaian ibadah puasa di bulan Ramadahan yaitu kata la’alla yang menunjukkan harapan dan perubahan pelakunya menjadi lebih baik.
Taqwa yang didefenisikan dalam ayat ini menurut Tafsir At-Tanwir Muhamamdiyah adalah sifat-sifat keimanan yang kuat dan kesadaran sosial yang mendalam. Harapan yang ingin diwujudkan pada manusia bertaqwa disini ialah, selain membentuk pelakukanya mempunyai pengokohan iman yang kuat juga memiliki komitmen tinggi untuk membangun solidaritas sosial dan kepedulian terhadap sesama.
Berpuasa kalo hanya sekedar mengikuti tradisi lingkungan, maka puasa itu tidak lebih hanya mendapat lapar dan haus saja. Perubahan orang yang berpuasa setelah bulan Ramadan adalah menghasilkan perilaku yang lebih baik. Sebaliknya, jika puasa itu tidak membuat perilaku seseorang ke arah yang lebih baik, maka puasa orang itu tidak memiliki makna spritual apapun disisi Allah Swt.
Penulis adalah Pengelola Pesantren Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Bengkulu
Tinggalkan Balasan