Langkah strategis kembali menandai babak baru dalam gerakan intelektual regional, Universitas Muhammadiyah Bengkulu (UM Bengkulu) bersama dua institusi akademik lainnya secara resmi mendeklarasikan pembentukan Southeast Asian Decolonization Association (SEADA). Deklarasi yang diberi nama “Nusantara Initiative” ini ditandatangani pada 4 September 2025 di bawah koordinasi bersama yang disebut Joint Secretariat. Inisiatif ini bukan sekadar simbolik, melainkan wujud nyata komitmen untuk mengurai warisan kolonial dalam sistem pendidikan, kebijakan publik, dan produksi pengetahuan di kawasan Asia Tenggara. SEADA hadir sebagai platform kolaboratif yang menghubungkan akademisi, pembuat kebijakan, dan komunitas sipil untuk bersama-sama merumuskan masa depan yang lebih adil dan berbasis lokalitas. Andi Azhar, Ph.D., salah satu penandatangan utama, menyebut momen ini sebagai “titik balik historis bagi gerakan pembebasan epistemik di kawasan”.

Asosiasi ini secara eksplisit menempatkan dekolonisasi, indigenisasi, dan transformasi masa depan sebagai tiga pilar utama kerjanya. Melalui SEADA, para anggota bersepakat untuk membangun ruang dialog yang inklusif, mendorong riset-riset kritis, serta merancang inisiatif kebijakan yang menjawab tantangan kontemporer dari perspektif non-Barat. Tidak hanya terbatas pada lingkup akademik, SEADA juga berkomitmen melibatkan komunitas lokal dan gerakan sosial sebagai mitra sejajar dalam proses penciptaan pengetahuan. “Kita tidak bisa lagi membiarkan paradigma kolonial terus mengatur cara kita berpikir, mengajar, dan membuat kebijakan,” ujar Andi Azhar dalam wawancara eksklusif dengan tim Humaspedia UMB. Ia menambahkan bahwa SEADA adalah jawaban kolektif atas kebutuhan mendesak untuk merebut kembali otoritas atas narasi dan pengetahuan lokal.

Dalam struktur organisasinya, UM Bengkulu bersama Universiti Sains Malaysia (melalui Centre for Policy Research) dan Universitas Negeri Surabaya (melalui Departemen Sosiologi FISIP) ditunjuk sebagai Joint Secretariat yang bertanggung jawab penuh atas koordinasi, administrasi, dan pelaksanaan program-program SEADA. Peran ini menempatkan UMB tidak hanya sebagai peserta, tetapi sebagai salah satu penggerak utama dalam arsitektur gerakan dekolonisasi regional. Andi Azhar, yang juga menjabat sebagai Asisten Profesor di Departemen Manajemen sekaligus Dekan Urusan Internasional UMB, menyatakan bahwa kampusnya siap menjadi jembatan antara wacana akademik dan aksi nyata di lapangan. “Kami percaya bahwa transformasi pengetahuan harus dimulai dari kampus, tapi dampaknya harus dirasakan hingga ke akar rumput,” katanya dengan penuh keyakinan.

Untuk memperkuat legitimasi dan arah strategisnya, SEADA secara resmi mengangkat Profesor Emeritus Tan Sri Dzulkifli Abdul Razak sebagai Penasihat Pendiri. Figur yang pernah memimpin empat universitas ini dinilai memiliki rekam jejak gemilang dalam advokasi dekolonisasi ilmu pengetahuan dan reformasi pendidikan tinggi. Dalam surat pengangkatannya, para pendiri menyatakan bahwa Tan Sri Dzulkifli mewujudkan semangat dan visi SEADA secara utuh. Keberadaannya diharapkan dapat memberikan bimbingan intelektual, arahan strategis, dan inspirasi moral bagi jaringan SEADA yang tersebar di seluruh Asia Tenggara. Andi Azhar secara tidak langsung mengakui bahwa kehadiran sosok sekaliber Tan Sri Dzulkifli adalah “jaring pengaman sekaligus kompas moral” bagi perjalanan panjang SEADA ke depan.

Langkah UMB dalam menginisiasi SEADA juga mencerminkan pergeseran paradigma dalam diplomasi akademik Indonesia. Tidak lagi sekadar menjadi penerima atau pengikut, kampus-kampus di luar Jawa mulai tampil sebagai pemimpin dalam isu-isu global yang relevan secara lokal. Inisiatif ini membuktikan bahwa perguruan tinggi di daerah mampu menjadi episentrum gerakan intelektual berskala internasional. “Ini adalah bukti bahwa kekuatan intelektual Indonesia tidak hanya terpusat di Jakarta atau Yogyakarta,” ujar Andi Azhar, yang menekankan pentingnya pemerataan kepemimpinan pengetahuan di seluruh nusantara. Ia berharap SEADA akan menjadi katalisator bagi munculnya lebih banyak inisiatif serupa dari kampus-kampus di pelosok Indonesia.

Ke depan, SEADA berencana menyelenggarakan serangkaian forum akademik, lokakarya kebijakan, dan program pertukaran peneliti antarnegara anggota. Fokus utamanya adalah membangun kurikulum alternatif, mendokumentasikan pengetahuan lokal yang terpinggirkan, serta mendorong reformasi kebijakan pendidikan tinggi yang lebih responsif terhadap konteks Asia Tenggara. Tantangan tentu tidak sedikit, mulai dari resistensi struktural hingga keterbatasan sumber daya, namun semangat kolaborasi yang dibangun sejak awal menjadi modal utama. Andi Azhar menegaskan bahwa keberhasilan SEADA tidak diukur dari jumlah seminar yang diadakan, melainkan dari seberapa jauh asosiasi ini mampu mengubah cara masyarakat memandang dan memproduksi pengetahuan. “Kemenangan terbesar kita adalah ketika anak-anak muda di kampung-kampung mulai percaya bahwa pengetahuan nenek moyang mereka setara, bahkan lebih relevan, daripada teori-teori impor,” pungkasnya.

Deklarasi Nusantara Initiative ini bukanlah akhir, melainkan pintu gerbang menuju perjuangan panjang yang membutuhkan ketekunan, solidaritas, dan keberanian intelektual. Dengan UMB sebagai salah satu motor penggerak, SEADA berpotensi menjadi kekuatan transformatif yang mengubah wajah pendidikan dan pengetahuan di Asia Tenggara. Momentum ini juga menjadi pengingat bahwa dekolonisasi bukan sekadar wacana akademik, tapi gerakan moral yang menuntut keadilan epistemik dan pengakuan atas keberagaman cara manusia memahami dunia. Seperti yang disampaikan Andi Azhar, “Kita sedang menulis ulang sejarah—bukan dengan pena penguasa, tapi dengan tinta dari akar rumput.” Dunia akademik regional kini menanti buah nyata dari komitmen yang telah ditanam pada 4 September 2025.

Bagikan
Kirim Pesan
Hai Kak!
Kamu sudah terhubung dengan admin Universitas Muhammadiyah Bengkulu (UM Bengkulu). Ada yang bisa kami bantu?