Dorongan perlunya kesamaan kalender yang menjadi acuan ummat Islam se-dunia menjadi diskusi hangga saat ini. Perbedaan pandanagn dan penentuan penanggalan khususnya yang berkaitan dengan ibadah keagamaan menjadi penting agar umat bersatu dan terhindar dari perbedaan penentuan dan pengaruhnya terhadap kehidupan sosial semisal perayaan dan hal-hal yang mengiringinya. Atas dorongan tersebut, UMB melalui LP2i menyelenggakan pengajian dengan mengusung tema pentingnya penanggalan hijrah global.

Dalam kajian terungkap lebih dari 14 abad peradaban Islam telah menggoreskan tinta emas dalam sejarah dunia. Namun, di tengah kemajuan zaman dan penyebaran umatnya yang kini merangkul setiap penjuru bumi, Islam masih menghadapi tantangan mendasar. Menurut ketua MTT wilayah Bengkulu Dr. Aibdi Rahmat, M. Ag, salah satu tantangan mendasar itu ialah ketiadaan kalender Islam yang seragam. “Ketidakpastian ini bukan sekadar soal penanggalan, tetapi juga cerminan tantangan menyatukan umat dalam harmoni ibadah dan organisasi waktu”, ujar Aibdi dihadapan jamaah kajian.
Aibdi Rahmat mencontohkan, pada 1446 Hijriah, Malaysia menetapkan 1 Ramadan pada 2 Maret 2025 dan 1 Syawal pada 31 Maret 2025, sementara Arab Saudi memilih 1 Maret untuk Ramadan dan 30 Maret untuk Syawal. Seorang Muslim Malaysia yang memulai puasa di negaranya, lalu melaksanakan umrah dan berlebaran mengikuti penanggalan Arab Saudi, hanya akan berpuasa 28 hari—kurang dari ketentuan syariat. Sebaliknya, seorang Muslim Indonesia yang memulai puasa pada 1 Maret 2025, lalu merayakan Idulfitri di Australia pada 1 April 2025, bisa berpuasa hingga 31 hari. Ketimpangan ini bukan hanya membingungkan, tetapi juga mengganggu esensi ibadah yang seharusnya menyatukan, tegasnya.

Lebih lanjut Aibdi Rahmat menyebut langkah Muhammadiyah untuk mendukung dan menerapkan Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) patut diapresiasi. KHGT menawarkan solusi dengan mengintegrasikan perhitungan astronomis yang presisi, sehingga penanggalan dapat diprediksi jauh hari dengan akurasi tinggi. Lebih dari itu, KHGT adalah upaya merajut kesatuan umat, memastikan bahwa ketika seorang Muslim di Jakarta berbuka puasa, saudaranya di Kairo atau London dapat berbuka pada hari yang sama, dengan semangat yang selaras.
“Kita warga Muhammadiyah punya kewajiban moral untuk mendukung langkah persyarikatan dalam mensosialisasikan dan terus mendorong penyatuan kalender hijriah global agar kesamaan dan esensi ibadah lebih terasa dan diatas semua hal tersebut adalah spirit penyatuan umat sehingga kita semangat persatuan umat dan kebersamaan terjaga, bukankah kita ini umat yang wahidan (satu)”, pungkas sang ustadz diakhir kajiannya.


